Dengan turunnya daya beli masyarakat paska COVID19, RumahSteril melakukan berbagai hal untuk efisiensi tanpa menurunkan kualitas. Hal tersedih yang perlu kami lakukan adalah mengurangi jumlah admin sehingga Lusi harus kami berhentikan. Namun sekalipun kondisi keuangan morat-marit, kami yakin dan percaya kapal RumahSteril akan melalui badai ini dengan baik.
Sangking terpukulnya, kami sampai lupa untuk mengucap syukur bahwa RumahSteril sudah berdiri selama 10 tahun dan kelewat memberikan apresiasi kepada para followers yang sudah setia bertahun-tahun ini. Namun tenang saja, semoga menjelang 2024 berakhir, kami bisa berbagi ucapan syukur tersebut melalui media sosial RumahSteril.
Sekalipun kondisi RumahSteril saat ini seperti sedang memasuki lembah kekelaman, saya sebagai pendiri RumahSteril merasa tetap perlu berdonasi ke pihak-pihak yang akan membantu demokrasi di Indonesia tetap bisa berjalan walaupun negara ini akan semakin mengarah ke oligarki. Mengapa donasi RumahSteril koq malah ke sifatnya hukum dan informasi? Bukan ke shelter hewan terlantar atau apapun yang ada urusannya dengan hewan? Karena ketika hawa demokrasi berjalan dengan baik, bukan cuma fokus memikirkan kepentingan segelintir orang, maka kualitas udara Jabodetabek menjadi lebih baik, kesadaran untuk kesejahteraan hewan semakin meningkat, bahkan tingkat kecerdasan rakyat ini akan jauh berkembang sempurna. Jadi RumahSteril donasi ke 2 organisasi ini yang notabene nominalnya tidak besar tapi kepedulian kami konsisten.
LBH Jakarta terlibat dalam tuntutan agar negara dalam hal ini presiden dan gubernur memperbaiki pencemaran udara yang tentu saja berkontribusi langsung dengan kondisi kesehatan kucing saat ini. LBH Jakarta menang tapi presiden menolak melaksanakan keputusan pengadilan. Lalu? Saya tetap donasi supaya LBH Jakarta punya cukup napas untuk melanjutkan perjuangan.
Project Multatuli secara rutin mengupayakan untuk mengangkat berita tentang masyarakat adat ataupun masyarakat yang terpinggirkan. Orang-orang ini adalah rakyat Indonesia. Hanya karena mereka tidak mendatangkan iklan di mata para Youtuber sehingga tidak pernah diundang siniar utk menyuarakan apa yang mereka alami, bukan berarti penderitaan dan perusakan alam itu tidak ada.
Begitulah cara saya mencintai negara ini. Saya belum menguasai berbagai propinsi di Indonesia. Kalaupun ada beberapa propinsi yang sudah saya kunjungi gambarannya nyaris seragam : kalau tidak lautan ruko, sawah-sawah yang mulai berubah jadi perumahan rumah, ya kebun sawit. Jadi saya tidak bisa menggunakan pernyataan bahwa saya mencintai Indonesia karena Indonesia indah. Indah di mananya? Kalau ada desa yang masih asri hijau tak terjamah modernisasi, itu mah bukan hidden gem tapi di situ sebenarnya nampak tidak adanya pemerataan pembangunan di negara ini.
Saya mencintai Indonesia mirip mungkin seperti hubungan saya dengan almarhumah ibu saya. Banyak pembelajaran hidup yang saya petik, banyak nilai hidup yang saya pegang dengan teguh, dan banyak kenangan sederhana yang saya simpan. Padahal di 12 tahun terakhir, hubungan kami dingin sekadar basa basi. Sebelumnya kami akrab dekat sampai saya siap mendeklarasikan bahwa hubungan ibu dan anak perempuan terbaik se-Indonesia Raya. Namun toh dengan segala kekurangan kelebihannya, saya memperjuangkan hidupnya sampai titik darah penghabisan. Saya lah yang tahu denyut terakhirnya berhenti karena jempol saya tidak lepas dari urat nadinya sampai akhirnya ia menutup usia. Begitulah saya akan mencintai Indonesia. Kalaupun prediksi Prabowo akan terjadi di 2030, di hadapan Tuhan saya bisa berkata : saya sudah memperjuangkan bangsa ini sampai titik darah penghabisan.